Surat Malam #2
Aku tujukan lagi kepada Paul Gora, pelarianku.
Ini dari Athaza Swastamitha, wanita yang bertemu denganmu
pertama kali di Universitas.
Selamat malam, Gora. Aku tulis surat ini masih di ruang
tamu yang sama, dengan senyap yang sama dan dengan suasana hati yang sama. Aku sendiri
tidak yakin, sedikit lebih baik atau semakin memburuk. Sesulit itu aku
menerjemahkan apa yang aku rasakan sendiri sekarang.
Gora, dulu saat awal kita mengenal dan mulai sering bertemu
untuk sekedar menikmati ice cream berdua atau menikmati kopi, aku sering
mendengarkan ceritamu tentang banyak hal, kawanmu, kuliahmu, bahkan keluargamu.
Aku sangat menikmati itu, mendengar kisah orang lain sampai di telingaku, aku
tertarik mendengar banyak hal tentangmu.
Sekali dua kali aku pun bercerita tentang keseharianku,
menceritakan bagaimana sulitnya aku mengambil keputusan, senangnya aku bersama
keluarga keduaku di grup tari yang aku ikuti sejak awal masuk Universitas. Aku juga
ingat, pernah bercerita betapa hebohnya ibuku ketika menonton Piala Dunia di
rumah, dia akan sangat histeris dan berteriak sangat kencang tanpa peduli jam
berapa saat itu.
Aku ingat, itu terjadi dua tahun yang lalu, Gora. Dekat
denganmu membuatku merasa punya pelarian. Jujur aku bukan orang yang bisa dengan
mudah terbuka pada siapapun, tapi ketika aku menemukan seseorang yang nyaman,
aku akan bertahan dan mempertahankan.
Semua kenyamanan itu mengalir begitu saja, tanpa aku atur
bentuknya akan seperti apa. Itu sebabnya aku tak mampu menyalahkan siapapun
ketika kenyamanan itu kembali menyerang dan melumpuhkanku. Segala kekuatan yang
sudah ku bangun ketika mengenalmu, runtuh seketika. Pagar yang ku buat hancur,
pun karena ulahku yang tak mampu mengatur nyaman itu.
Aku terlalu membiarkan kenyamananku itu ada di tanganmu. Padahal
aku masih bisa untuk memegangnya sendiri. Tapi hati tak memberiku pilihan untuk
itu.
Gora, kalau saja masih bisa, aku ingin kembali menceritakan
banyak hal padamu sekarang. Sesuatu telah terjadi, Gora. Akal ku berteriak tapi
mulutku diam. Aku tidak mampu mengendalikan banyak hal sekarang. Keadaanku,
keluargaku, dan banyak hal lain. Kesakitan dan kekecewaan yang tiba-tiba muncul terus menerus. Aku tidak diberi waktu untuk sekadar bernafas sejenak.
Tolong kembali, dan jadilah tempatku mengeluh Gora. Aku membutuhkan
kekuatanku yang dulu, yang kubangun bersamammu. Tolong dengar lagi keluhku. Aku
tahu kaupun tak akan bisa merubah apapun setelah aku bercerita. Tapi setidaknya,
aku punya tempat untuk berlari. Kamu. Tempat beristirahat, menyimpan beban
sejenak, atau mmungkin sedikit menguranginya.
Aku mohon Gora, aku membutuhkanmu. Bolehkan aku berharap
demikian. Memiliki dirimu yang dulu untuk sekarang, disini di sampingku.
Aku tahu kau kan menyuruhku untuk mengeluh pada Tuhanku, pun
ku lakukan itu Gora. Pasti kulakukan. Tapi aku butuh kekuatan yang lain,
kekuatan dari rasa nyaman dan ketenangan, yang hanya bisa terbentuk bersamamu.
Saat kamu membaca surat ini, apa yang kau pikirkan Gora ?
Mungkinkah kau berpikir untuk berlari ke arahku ? Mungkinkah kau
mengkhawatirkan ku ? Atau kemungkinan terburuknya, kau tak mau peduli akan itu,
menutup surat ini. Maka pada sat itulah aku, kehilangan lagi.
Comments
Post a Comment