Athazagora Halaman Kedua

Mereka yang membual cinta, setiap saat menanam rindu tapi pada akhirnya hanya berhenti di batas itu. Tak ada cerita yang berlanjut, yang mungkin akan menjadi lebih manis ceritanya. Lelaki diujung harapan seorang wanita. Namun hanya sebatas harapan. Pada akhirnya tak ada yang melebihi cerita sebatas perkenalan, menaman nyaman, kemudian pergi. Tetapi bukan untuk menghilang, dia pergi untuk nanti setelah sekian lama dia kembali seperti mengulang luka lama.
Namaku Athaza, sebelumnya aku sudah menyampaikan sepenggal ceritaku pada yang lain. Ya, aku mengenal Gora dari 11 bulan yang lalu. Tidak, bukan mengenalnya, hanya tau bahwa namanya Gora, mahasiswa jurusan musik di kampus, lahir di Bandung 3 April 1996. Selain itu, aku sepertinya belum tahu.
Hatinya ? apalagi. Kabut dihatinya terlalu tebal. Bahkan sedikitpun tak ada celah untuk aku bisa melihatnya.
mengenal laki-laki seperti dia, memberiku pelajaran tentang memaafkan. Harapan hanya sebatas harapan, dan harapan itu berhenti 9 bulan yang lalu.
Pada dasarnya aku hanya seorang wanita yang pernah mengenal laki-laki lain sebelumnya. Umurku saja sudah 21 tahun, ada lebih dari 3 laki-laki yang ku kenal tapi tak ada cerita manis yang berlanjut.
Maka aku belajar dari itu, bagaimana aku mesti menyikapi saat-saat dimana aku akan jatuh untuk kesekian kalinya.
Aku tidak akan takut tertusuk jarum jika aku belum  pernah merasakan sakit tertusuk sebelumnya. Karena aku tahu lukanya akan seperti apa, maka kupikir wajar jika aku sedikit berhati-hati saat memegangnya.
Dua bulan dibuai pada rasa dan angan yang tak pernah kujumpai sebelumnya, dengan manusia-manusia yang kutemui sebelum ia. Selama itu aku pikir bahwa semua cinta punya harapan, setiap hidup punya tujuannya, setiap waktu yang dimiliki akan ada ceritanya. Bila saja kalian tau bagaimana Gora memperlakukanku. Selama itu akulah wanita yang tak mampu merasakan luka didiriku meski darahnya terus keluar, sebab selama itu aku melupakan segala rasa sakit, mataku ditutup dari mimpi-mimpi buruk yang setiap malamnya ada. Dia halaman terindahku, tempat ternyaman melepas penatku akan segala hal, tempat tersejuk untuku sejenak menghirup udara segar. Dia sumber oksigen yang kubutuhkan untuk tetap hidup. Selama itulah, taman itu yang menjadi tempat favoritku. Aku suka memandanginya dari jendela kamar. Aku kunjungi tamanku setiap malam menjelang tidur. Bahkan aku bisa menghabiskan sepanjang malamku disana.
Saat aku merasa semua hal dalam hidupku tak bisa aku genggam, aku hanya mampu menggenggamnya. Aku senang melewati pukul 12 malam bersamanya.
Hanya selama itu, dua bulan lamanya. Setelah itu tamanku hancur, bunganya mulai layu, rumput pun mulai mati, kursi ditamanku rubuh. Sekarang aku tidak bisa menikmati tamanku.
Gora dan harapanya mati seiring berjalannya waktu.
Dia tidak suka aku terlalu berhati-hati, itu menurutnya.
Baru aku tahu, dibalik ceritaku yang berhati-hati pada tempat yang sama aku terjatuh sebelumnya hingga lukaku pun butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya, ternyata jauh diluar sana ada banyak cerita yang memaksaku untuk berhenti, dan memintanya untuk pergi.
Apa yang bisa aku lakukan, sudah kubilang aku hanyalah Athaza, seorang wanita yang terlalu perasa yang pada dasarnya selalu menggunakan 90% perasaanya. Kalaupun aku paksa dia untuk tetap tinggal, itu percuma. Gora bilang sudah ikhlas kehilanganku.
Sembilan bulan yang lalu, ceritaku tiba-tiba berubah. Semuanya berbeda, sejak saat itu aku berubah pikiran. Aku mulai berpikir bahwa cinta tak pernah punya harapan, bahwa hidup tak pernah memiliki tujuan. Kini, dua manusia ini punya arah yang berbeda, wanita dengan ujung harapnnya, dan sang laki-laki diujung perjuanganya. Mungkin, mereka tidak akan pernah menemukan lagi persimpangan untuk bertemu kembali diujung sana. Aku tidak pernah berharap kembali lagi ke titik ini, ketempat yang sama dimana sebelumnya aku sempat terjatuh. Athaza kembali ke titik dimana dia lupa bagaimana cara menggerakan kakinya untuk melangkah, ke titik dimana dia menangis dalam hati untuk menahan sakit.
" Gora, kini aku telah sampai. Aku telah sampai diujung pengharapanku tentang cerita manis yang selalu aku minta kepada Penciptaku. Kau telah menghantarkanku sampai disini, kemudian melepaskan genggamanmu dan pergi ke arah yang berbeda. Aku tidak tahu, Gora. Tidak akan pernah tahu bahkan. Mengapa sampai saat ini Penciptaku menciptakan kamu di sekitarku. Bahkan perpisahan ini keterlaluan bagiku, tak ada ucapan selamat tinggal, tak ada kata-kata terakhir, tak ada hal manis terakhir yang bisa ku simpan rasanya. Setelah menatap kedua mataku lalu kau pergi, dan hingga saat ini kau belum kembali untuk menatapnya lagi. Jika kau tanya seberapa jahat dirimu, bahkan kata jahat pun tak pantas bagimu. Ini terlalu sulit, Gora. " 

Comments