Tentang "Maaf"

Aku mengenal kata “maaf” sejak aku kecil, maaf pertama yang ku dengar adalah kata “maaf” yang keluar dari bibir lembut ibuku. Sejak itu aku tahu bahwa maaf bukan sekedar kata, maaf mampu merubah sebuah keadaan, maaf mampu menjadi alasan seseorang memikirkan sesuatu, maaf mampu meredam api dan panas yang tertampung, maaf mampu merubahku.
Hingga setelah itu aku semakin sering mendengar kata itu, dari ayahku, kakak perempuanku, saudaraku, teman-temanku, bahkan beberapa orang yang pernah menyimpan kenangan yang berbeda dihidupku. Sampai sekarang, aku mencoba memaknai kata maaf, apa sebenarnya maaf, bagaimana cara memafkan, karena mereka dan aku yang “memaafkan” entah kenapa belum bisa melupakan.
Ya, aku berselisih dengan seseorang. Kita memaknai pertemuan ini sebagai awal, awal bagaimana kita saling memahami, awal untuk memulai sesuatu yang sempat terlupakan selama tiga tahun ini untuku, mungkin untuknya hanya sekitar satu atau dua tahun.
Ini awal kami, merasakan nyaman yang hampir tak pernah dirasakan sebelumnya. Sampai pada akhirnya setelah tiga bulan berlalu, ada jalan Tuhan yang berbeda dengan keinginanku. Dia, merubah rencana yang sudah kususun rapih, yang sudah kubayangkan bagaimana indahnya. Tapi, ya aku tak mampu menyalahkan Nya. Hingga aku menyalahkan diriku sendiri, aku mencari sesuatu yang bisa kumarahi dan kusalahkan atas semua ini, termasuk dia yang terlibat dalam rencanaku. Aku marah pada setiap keadaan, aku marah pada setiap hal yang bersangkutan tentangnya, namanya, suaranya, pesannya, minuman kesukaannya, tempatku pernah bertemu dengannya, tempat kami dulu pernah duduk hanya untuk diam dan sedikit berbincang, tempat kami terkahir bertemu sampai akhirnya tak pernah ada lagi saat untuk kami bertemu lagi setelah itu. Semua hal. Aku salahkan semua hal yang sudah terjadi, aku salahkan rasaku yang kusesali dan kuanggap telah salah memilih. Aku adalah wanita yang marah pada saat itu. Bahkan kupikir taada orang yang mengerti aku untuk saat-saat itu, baik itu sahabatku sekalipun.
Iya, aku melewati masa-masa tersulit yang selalu aku takuti sejak dulu setelah terakhir kali aku merasakannya tiga tahun yang lalu. Ini yang aku takutkan jika berurusan dengan hati, kehilangan, kekecewaan, ke-galau-an, kesepian. Mereka mencuri sesuatu dalam diriku, sesuatu yang aku rawat bertahun-tahun dan aku jaga sebaik mungkin. Mereka bilang mereka hanya meminjamnya, bahkan ingin merawatnya bersamaku, tapi mereka mengambilnya dan tak pernah mengembalikannya lagi, sampai saat ini.
Masa tersulitku adalah melewati waktu tanpa sesuatu yang sudah nyaman dalam diriku. Sebelum kita bertemu, aku adalah wanita yang sendiri, percayalah betapa lemahnya aku dengan segala macam permasalahan yang ada, dengan kekurangan yang selalu aku sesali. Aku menginginkan sesuatu sejak aku kecil, dan aku bisa mendapatkannya saat bersama dia. Kemudian sejak itu lah aku pikir aku jatuh hati, bukan cintaku tapi hatiku. Semua yang tak pernah aku rasakan dan tak pernah aku dapatkan, kini aku memilikinya.
Sampai saatnya semua harus berhenti. Semua harus berubah.  Akhirnya aku sampai pada masa yang kubenci selama ini. Semua itu hilang lagi, sesuatu yang sudah aku miliki. Aku melemah lagi.
Aku renungkan semuanya. Semua tentang apa yang sudah terjadi, tentang baik buruk nya semua itu. Aku pikirkan kembali apa yang bisa aku lakukan. Sampai pada akhirnya, setelah sekian lama aku tau apa yang harus aku lakukan.
Aku harus memaafkan. Aku ingat dulu ketika ibuku tak sengaja menyakitiku, diriku dan hatiku, dia mengatakan “maaf” padaku, kemudian aku merasa “maaf” seperti kata sihir dari mulutnya. Aku mampu meredam marahku pada ibuku, dan aku “memaafkan” nya. Aku pikir jika aku melakukannya lagi sekarang mungkin marahku setidaknya akan berkurang. Kemudian aku coba memaafkan, dan sejak saat itu aku sudah memaafkanmu.
Aku harus menerima. Menerima segala kenyataan yang memang ada. Aku sudah tidak bisa menyangkalnya lagi, menolak untuk sakit, menolak untuk kecewa. Aku tidak punya kemampuan untuk itu. Maka aku memilih untuk menerimanya. Sama seperti aku menerimanya dulu datang ke kehidupanku, aku biarkan dia membuatku nyaman, dan sekarang aku biarkan dia melakuka apapun yang ingin dia lakukan meski itu sedikit menyakitiku. Tapi aku manusia, kodratku adalah menerima segala keputusan-Nya.
Sudah aku maafkan, sudah aku terima. Kecewaku berkurang, marahku mereda. Tapi hati dan otakku tak berjalan bersamaan. Mungkin hatiku membaik, tapi ingatanku tidak.
Ini yang sering aku katakan, mampu memaafkan bukan berarti mampu melupakan. Semua hal yang sudah menyakiti, akan lebih lekat menempel di ingatanku daripada hal yang membahagiakanku. Sama seperti sekarang, semua kesakitan ini masih teringat jelas. Semuanya, entah itu kesakitan yang sudah aku terima sejak aku masih kecil ataupun sekarang.
Maka aku ingatkan, jangan meremehkan kata maaf. Jika kalian pikir dengan kata maaf semua kembali baik, tidak. Mungkin membaik, tapi tidak semuanya. Jadi jangan pikirkan bagaimana caranya maaf itu mampu merubah semuanya. Tapi pikirkan bagaimana caranya kita sebisa mungkin tidak usah untuk mengatakan “maaf”.
Sampai saat ini, aku masih mencoba memaknai kata maaf. Karena aku memang merasa lebih baik setelah memaafkan, aku lebih terbuka dan bisa menerima. Dengan memaafkanlah aku bisa membuka hatiku kembali dan taakan ku tutup lagi.
Sebenarnya, masa sulit itu, aku masih melewatinya.

Comments